Makalah Fikih Jinayah : Azas-azas legalitas
AZAS –AZAS DALAM
FIKIH JINAYAH: AZAS LEGALITAS
Makalah ini dipresentasikan untuk Mata Kuliah
Fikih Jinayah Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah
Semester V local A
Oleh :
Kelompok 4
Siti Patimah
2017.125.142
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI)
NUSANTARA BATANG HARI
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada
Allah SWT yang maha penagsih lagi maha
penyayang. Yang mana berkat rahmat dan karunia-Nya serta kasih sayang yang
melimpah kepada saya sehingga masih
dapat diberikan kesempatan untuk dapat
menyelesaikan tugas makalah ini yang diberikan kepada saya. Tak lupa
salawat beriringkan salam saya haturkan
kepada nabi besar Muhammad SAW yang mana berkat beliau lah yang telah
membawa kita umat manusia dari alam kebodohan yang tidak tahu apa-apa menuju
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini ,saya bermaksud membuat
makalah tentang Azas-azas dalam Fikih Jinayah :Azas legalitas yang mana dalam
hal makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen ,dalam
cakupan kajian perkuliahan. Saya berharap makalah ini dapat sesuai dengan apa
yang di inginkan dan menjadi mamfaat
bagi yang lain baik dalam pembelajaran perkuliahan ataupun yang
lainnya.Walaupun masih banyak kekurangan didalamnya.Dan tak lupa saya ucapkan
terimakasih kepada keluarga dan sahabat-sahabat saya yang telah banyak membantu
walaupun tidak asecara lanagsung tapi pengertian dan perhatian nya kepada saya.Sehingga
makalah ini dapat selesai tepat waktu.
Muara Bulian, Oktober 2019
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman cover........................................................................................................... i
Kata pengantar.......................................................................................................... ii
Daftar isi...................................................................................................................... iii
A.
Pendahuluan ................................................................................................ 1
1.
Latar belakang ........................................................................................ 1
2.
Rumusan masalah................................................................................. 1
3.
Tujuan penulisan.................................................................................... 2
B. Asas asas dalam fiqih jinayah:
Asas legalitas ....................................... 3
1.
Pengertian Asas
legalitas..................................................................... 3
2.
Landasan kaidah Asas Legalitasdalam Pidana Islam.................... 5
3.
Kaidah Asas Legalitas........................................................................... 7
4.
Penerapan dan
contoh Asas Legalitas dalam Jarimah.................. 10
C. Penutup.......................................................................................................... 16
1.
Kesimpulan.............................................................................................. 16
Daftar Pustaka
Daftar
Lampiran
A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Hukum pidana adalah
hukum yang mengatur tentang perbuatan yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana,
dan apa macam sanksi yang dijatuhkan. Hukum pidana memiliki efek jera bagi
pelakunya. Hukum pidana ini termasuk kepada hukum publik, karena dalam
penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara
pidana ini tanpa bantuan Negara/pengadilan.
Agama Islam adalah agama yang menggunakan hukum
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, karena keduanya merupakan
pedoman hidup dan semua aspek hukum sudah terkandung didalamnya, baik tindakan
maupun hukumannya. Al-Qur’an yang masih bersifat global perlu adanya
penafsiran untuk menemukan segala bentuk hukum dan sanksi yang terdapat
didalamnya. Hal ini memberikan ruang kepada manusia untuk berfikir dan melihat
lebih jauh akan pentingnya hukum dan sanksi itu sendiri.
Suatu tindakan dapat dikenakan sanksi apabila
terpenuhi syaratnya yaitu, legalitas. Asas legalitas bermaksud membatasi
berlakunya hukum itu sendiri. Ketika pelanggaran sudah terjadi, tetapi hukumnya
belum ditetapkan, maka orang tersebut tidak dapat dikenai sanksi atau pidana
karena tidak termasuk kepada pelanggaran hukum. Didalam hukum islam juga
berlaku
Asas Legalitas.Pemberlakuan Asas Legalitas
bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia, karena Hak Asasi Manusia adalah
hak yang paling hakiki, yang tidak boleh dikurangi sedikitpun.
2. Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian Asas legalitas?
b. Apa
landasan kaidah Asas Legalitasdalam Pidana Islam?
c. Apa saja kaidah Asas
Legalitas?
d.
Bagaimana penerapan dan contoh Asas Legalitas dalam Jarimah?
B. AZAS-AZAS FIQIH
JINAYAH:AZAS LEGALITAS
1) Pengertian Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa
Arab,Asasun. Artinya dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan
dengan sistem berfikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasan berfikir
yang sangat mendasar. Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, yang dimasksud
dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan
alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.[1]
Kata legalitas berasal dari
bahasa latin yaitu lex yang berarti undang-undang atau
dari kata jadian “legalis”yang berarti sah atau sesuai dengan
ketentuan undang-undang.[2] Yang dimaksud dengan asas legalitas adalah asas
yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada
undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan Alqur’an Surah al-Isra’
ayat 15 dan Surah al-An’am ayat 19.[3] Dalam kaitannya dengan hukum
pidana Islam, asas legalitas berarti keabsahan mengaplikasikan hukuman atas
melampaui batas (hudud) yang dapat merugikan orang lain, yang bersumber dari
al-Qur’an dan al-Hadits.
Istilah asas legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara
jelas sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Positif.
Kendati demikian bukan berarti syari’at Islam (hukum pidana Islam) tidak
mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan bahwa hukum pidana Islam
tidak mengenal asas hukum legalitas, hanyalah mereka yang belum meneliti secara
detail berbagai ayat yang secara substansial menunjukkan adanya asas legalitas.[4]
Asas legalitas dengan semboyan yang tercermin dari
ungkapan dalam bahasa latin: nullum delictum nulla poena sine preavia
lege poenali, yang artinya tidak ada tindak pidana tidak ada hukuman,
kecuali ada undang-undangnya lebih dahulu. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP yang menyatakan:
Tiada suatu
perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam
undang-undang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu. (geen
feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke
strafbepaling). Terjemahan bebas “tidak ada perbuatan pidana, apabila tidak
diatur lebih dahulu dalam undang-undang”.
Ketentuan di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dikenal sebagai “asas
legalitas” yang mempunyai dua makna, yakni:
a. Untuk kepastian hukum, bahwa undang-undang
hanya berlaku ke depan dan tidak berlaku surut (asas non retroactive).
b. Untuk kepastian hukum, bahwa sumber hukum
pidana tiada lain dari undang-undang (ketentuan hukum umum / lex
generalis).
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP diatas dapat
dikecualikan di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
Jika terjadi
perubahan dalam peraturan hukum sesudah aktu dilakukan perubahan itu, maka
dipakailah ketentuan yang lebih meringankan bagi tersangka.
Pasal 1 ayat
(2) KUHP ini merupakan ketentuan khusus yang menyampingkan Pasal 1 ayat (1)
KUHP sebagai ketentuan umum. Dikenal sebagai asas lex specialis derogat
lex generalis.[5]
Asas legalitas ini
merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas
aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi
dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin
keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap
orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan
illegal dan hukumannya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan
boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara
jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.
Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadaporang yang melakukan perbuatan
setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Begitu pun dengan
hukum Islam, berlaku asas legalitas ini,berdasarkan hukum yang sudah
tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
2)
Landasan Kaidah Asas Legalitas Dalam Pidana Islam
Asas legalitas dalam
hukum Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Allah
SWT. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam, terbukti
adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah SWT tidak
akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban
manusia sebelum adanya penjelasandan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian
juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklifiyang sanggup di
kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:
Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ
رَسُولٗا
Artinya: “dan
Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutusseorang Rasul”.
Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59
وَمَا كَانَ رَبُّكَ
مُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبۡعَثَ فِيٓ أُمِّهَا رَسُولٗا يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ
ءَايَٰتِنَاۚ وَمَا كُنَّا مُهۡلِكِي ٱلۡقُرَىٰٓ إِلَّا وَأَهۡلُهَا ظَٰلِمُونَ ٥٩
Artinya: “Dan
tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Diamengutus di ibukota itu
seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kamikepada mereka”.
Al-Qur’an surat al-Anam: 19
قُلۡ أَيُّ شَيۡءٍ أَكۡبَرُ شَهَٰدَةٗۖ قُلِ
ٱللَّهُۖ شَهِيدُۢ بَيۡنِي وَبَيۡنَكُمۡۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ
لِأُنذِرَكُم بِهِۦ وَمَنۢ بَلَغَۚ أَئِنَّكُمۡ لَتَشۡهَدُونَ أَنَّ مَعَ ٱللَّهِ
ءَالِهَةً أُخۡرَىٰۚ قُل لَّآ أَشۡهَدُۚ قُلۡ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ
وَإِنَّنِي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ
Artinya: Katakanlah: “Siapakah
yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah:“Allah”. Dia menjadi saksi
antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).
Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping
Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah:
"Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".
Ayat al-Qur’an yang lainnya yang berbicara
tentang asas legalitas yaitu QSal-Nisa: 16, QS al-Baqarah: 286, dan QS
al-Anfal: 38. Semua ayat al-Qur’an ini berbicara tentang asas
legalitas. Ketentuan lafadz-lafadz ini termasuk lafadz yang qath’i, yang
berarti wajib untuk diamalkan. Yang mengandung arti bahwa tidak ada pidana
sebelum ada bayan yang disampaikan Allah SWT melalui Rasul-Nya.[6] Selain itu,
manusia juga ditanggungi sesuai dengan kekuatannya, yang berarti disini berlaku
hukum rukhsah bagi mereka yang berada dibawah kemampuannya.
3) Kaidah Asas Legalitas
Salah satu kaidah yang terpenting dalam dalam syari’at Islam
adalah:
لاحُكمَ لاَفعَالِ العُقلاءِ قَبْلَ وُرُوْدِ
النصِّ
“Sebelum ada nash
(ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat”.
Pengertian dari kaidah ini adalah bahwa perbuatan orang-orang yang
cakap (mukallaf) tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang
dilarang selama belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan ia mempunyai
kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash
yang melarangnya.
Pengertian dari kaidah tersebut identik dengan kaidah lain yang
berbunyi:
الاصل في الاشياء الاباحة حتى يقوم الدليل على
التحريم
“Pada dasarnya
semua perkara diperbolehkan, sehungga ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.
Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua perbuatan dan
sikap tidak berbuat dibolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan kebolehan
yang dinyatakan oleh syara’. Dengan demikian selama belum ada nash yang
melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap tidak berbuat
tersebut.
Kesimpulan dari kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
لا يمكن اعتبار فعل او ترك جريمة الا بنص صريح
يحرم الفعل اوالترك. فإذا لم يرد نصّ يحرم الفعل اوالترك فلامسؤليّة ولاعقاب على
فاعل او تارك.
“Suatu perbuatan
atau sikap tidak berbuat tidak boleh dianggap sebagai jarimah, kecuali karena
adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak
berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada
tuntutan atau hukuman atas pelakunya”.
Oleh karena itu, perbuatan dan sikap tidak berbuat tidak cukup
dipandang sebagai jarimah hanya karena dilarang saja melainkan harus dinyatakan
dengan hukumannya maka kesimpulan yang dapat diambil dari semua kaidah tersebut
adalah bahwa menurut syari’at islam tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman
kecuali dengan adanya nash.
Disamping kaidah-kaidah tersebut masih ada kaidah lain yang
berbunyi:
لاَ يُكَلِّفُ شَرْعا إلاّ من كان قادرا على فهم
دليل التكليف أهلا لما كلف به. ولاَ يُكَلِّفُ شَرْعا إلاّ بفعل ممكن
مقدور للمكلف معلوم له علما يحمله على امتثاله.
“Menurut syara’
seseorang tidak dapat diberi pembebanan (Taklif) kecuali apabila ia mampu
memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya. Dan menurut syara’
pula seseorang tidak dibebani taklif kecuali dengan pekerjaan yang mungkin
dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan
yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut”.
Kaidah-kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus
terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab
dan pada perbuatan yang diperintahkan. Adapun syarat untuk para
mukallaf ada dua macam:
a.
Pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi
b.
Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan diberi
hukuman.
Sedangkan untuk syarat perbuatan yang
diperintahkan ada tiga macam :
a.
Perbuatan itu mungkin dikerjakan.
b.
Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan
kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya.
4)
Penerapan Asas Legalitas
Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada
semua jarimah , akan tetapi corak da cara penerapannya tidak sama,
melainkan berbeda-beda menurut perbedaan macamnya jarimah, seperti yang akan
terlihat nanti.
1. Asas Legalits pada Jarimah Hudud
a.
Untuk jarimah zina
·
Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’: 32).
·
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera. ( QS. An-Nur: 2).
b.
Untuk jarimah al-qodzaf
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS.
An-Nur: 4).
c.
Untuk jarimah asy-syurbu
§ Hai orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapatkan keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)
§ Tiap-tiap yang memabukkan adalah haram.
(Hadits).
d.
Untuk jarimah as-sirqah
Pencuri lelaki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong
tangannya. (QS. Al-Maidah: 38).
e.
Untuk jarimah al-hirabah
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar.(QS. Al-Maidah: 3).
f.
Untuk jarimah ar-riddah
1)
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85).
2)
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di
akhirat. (QS. Al-Baqarah: 217).
g.
Untuk jarimah al-baghyu
Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka
damaikalah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim
terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim
itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu
telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan
adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil. (QS. Al-Hujurat: 9)
2. Asas Legalits pada Qiyas-Diyat
a.
Untuk jarimah al-qatl a-’amd
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa
dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Isra’: 33)
b.
Untuk jarimah al-qatl syibh al-‘amd
Rasulullah berkata: “Ingatlah, pada pembunuhan keliru-sengaja
(semi-sengaja), yaitu pembunuhan dari pecut, tongkat, dan batu, ialah seratus
unta. (Hadits)
c.
Untuk jarimah al-qatl al-khata’
Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang
beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa
membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang
beriman, maka hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barang siapa tidak memperolehnya, maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’: 92)
d.
Jarimah untuk al-jarh al-khata’
Dalam jarimah ini Rasulullah menentukan
batas-batas hukum diyat, dengan dasar perhitungan apabila pada badan hanya
terdapat satu macam anggota badan, seperti hidung, lidah, alat kelamin, maka
dikenakan satu diyat lengkap seratus unta. Apabila yang dirusakkan adalah
anggota badan yang rangkap seperti mata dan telinga, maka untuk
masing-masingnya dikenakan setengah diyat, yaitu lima puluh unta. Menghilangkan
satu gigi dikenakan lima unta.
Rasulullah juga mewajibkan diyat pada
penganiayaan yang menghilangkan indera-indera, seperti pendengaran,
penglihatan, dan perasaan (fikiran).
e.
Jarimah untuk al-jarh al-‘amd
Untuk tiap-tiap perusakan atau pelukaan yang
tidak ditentukan diyatnya yang lengkap atau sebagian, maka hal itu diserahkan
pada hakim, dengan mengambil pertimbangan orang-orang ahli. Aturan tersebut
sudah menjadi kesepakatan. (Ijma’).[8]
3. Asas Legalitas pada Jarimah Ta’zir
Penerapan asas legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan
asas legalitas dalam jarimah huddud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi
hukuman ta’zir kepada tiga bagian:
a. Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat.
Para ulama’ sepakat bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap
perbuatan maksiat, yang tidak dikenakan had dan tidak pula kifarat, baik
perbuatan maksiat tersebut menyinggung hak Allah maupun hak adami.[9]
b. Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan umum.
Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syari’at islam,
hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang
karena zat perbuatannya itu sendiri sebagai penyimpangan dari aturan pokok
tersebut.[10]
c. Hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran (mukhalafah).
Ta’zir karena Pelanggaran (mukholafah) adalah melakukan
perbuatan yang diharamkan dan meninggalkan perbuatan yang diwajibkan. Jika
meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan yang diharamkan merupakan
maksiat.[11] Untuk
menjatuhkan ta’zir atas perbuatan mukhalafah, disyaratkan
berulang-ulangnya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, jadi. Sebenarnya
penjatuhan itu bukan karena perbuatannya itu sendiri melainkan karena
berulang-ulang, sehingga perbuatan itu menjadi adat kebiasaan.[12]
Dengan berpegang kepada asas legalitas seperti
yang dikemukakan di atas serta kaidah “tidak ada hukuman bagi mukallaf sebelum
adanya ketentuan nash”, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan
atau pertanggung-jawaban pidana. Ketentuan ini memberi pengertian bahwa hukum
Islam baru berlaku setelah adanya nash yang mengundangkannya. Dengan kata lain,
bahwa hukum pidana Islam tidak berlaku surut (atsarun raj’iyyun).
Sebagai gambaran riil mengenai penerapan hukum
pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku surut (atsarun raj’iyyun),
misalnya: sebelum Islam, riba merupakan perbuatan yang biasa dikerjakan. Kemudian
dilarang oleh Islam, dengan firman Allah: Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Barang siapa yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah: 275).Dengan
adanya larangan tersebut maka riba merupakan perbuatan jarimah, tetapi juga
merupakan peristiwa perdata. Nas-nas tersebut berisi dua ketentuan juga, yaitu
aturan pidana dan aturan perdata. Menurut aturan pidana, riba yang terjadi
sebelum diturunkannya ayat tersebut tidak dikenakan hukuman dan hukuman hanya
dikenakan terhadap riba yang terjadi sesudahnya. Menurut aturan perdata,
kreditur hanya mempunyai tagihan atas uang pokok saja, tanpa bunga.[13]
C. PENUTUP
1. Simpulan
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran
dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain: surat
al-Isra ayat 15, surah al-Qashash ayat 59, surat al-An’an ayat 19, surat
al-Baqarah ayat 286.
Kaidah asas legalitas “Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada
hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat”
Contoh penerapan asas legalitas, pada masalah zina: “Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina,maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera”. ( QS. An-Nur: 2)
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. 2014. Hukum Islam (Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Ali, Zainuddin. 2009.Hukum Pidana Islam.Jakarta: Sinar
Grafika.
Hanafi, Ahmad. 1986. Asas-asas Hukum Pidana Islam.
Jakarta:Bulan Bintang.
https://www.scribd.com/doc/146843353/Asas-Legalitas-Hukum-Pidana-Islam , diakses tanggal 10 Oktober 2019
Munajat, Makhrus. 2009. Hukum PidanaIslam di
Indonesia. Yogyakarta: Teras.
Muslich, Ahmad Wardi. 2006. Pengantar dan Asas Hukum
Pidana Islam. Jakarta: Media Grafika.
Rokhmadi. 2015. Hukum Pidana Islam.Semarang: Karya Abadi
Jaya.
Sugiarto, Umar Said. 2013. Pengantar Hukum
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
[1] Mohammad Daud Ali, Hukum
Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2014), cet. 20, hlm. 126
[4] https://www.scribd.com/doc/146843353/Asas-Legalitas-Hukum-Pidana-Islam , diakses
tanggal 10 Otober 2019
[6] https://www.scribd.com/doc/146843353/Asas-Legalitas-Hukum-Pidana-Islam , diakses
tanggal 10 Juni 2013
[7] Ahmad
Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Media Grafika, 2006), cet. 2, hlm. 29-31
Komentar
Posting Komentar